SELAMAT DATANG DAN TERIMAKASIH TELAH BERKUNJUNG ...BLOG INI HANYA INGIN BERBAGI ILMU DAN INFORMASI BERSAMA..LETS FOLLOW EACH OTHER

Selasa, 01 Mei 2012

RARAKITAN DI SITU CANGKUANG MENDAYUNG SEJARAHCANDI CANGKUANG GARUT




Danau kecil atau biasa disebut dengan Situ membentang dengan bunga teratai dan eceng gondok diatasnya. Situ Cangkuang, biasanya penduduk setempat menyebut nama tersebut dan termasuk salah satu Situ yang sangat bersejarah, karena ditengahnya terdapat sebuah bangunan candi. Candi Cangkuang adalah satu-satunya candi yang dapat dipugar di daerah Jawa Barat. Nama Candi Cangkuang disesuaikan dengan nama desa dimana candi itu ditemukan. Desa Cangkuang berasal dari nama pohon yang banyak terdapat
disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon Cangkuang, pohon ini sejenis pohon pandan dalam bahasa latinnya ( Pandanus Furcatus ), tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren. Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau dengan nama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII.  Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang Kabupaten Garut. Waktu itu di Kampung Pulo salah satu bagian wilayah dari desa Cangkuang sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Namun secara perlahan namun pasti, Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam.
 Desa Cangkuang terletak disebelah utara kabupaten Garut masuk Kecamatan Leles, tepatnya berjarak  17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Untuk menuju situs Cangkuang dari arah Bandung, bisa menggunakan mobil pribadi atau umum. Dari arah Bandung menuju Garut kita akan ketemu dengan kecamatan Leles, ketika sampai di Leles ada sebuah papan petunjuk yang sangat jelas yang menunjukkan posisi Candi Cangkuang. Masuk ke dalam sejauh kurang lebih 3 km, dengan jalan beraspal dapat dilalui oleh kendaraan baik roda dua maupun empat, bahkan masih dipertahankan angkutan tradisional delman ( andong ). Apabila ditempuh dengan jalan kaki memerlukan waktu kurang lebih 30 menit. Udara didaerah ini tergolong sejuk, karena terletak di ketinggian 700 m diatas permukaan air laut. Disepanjang perjalanan dari Leles ke desa Cangkuang kita akan menyaksikan indahnya sawah yang hijau, disebelah utara kita akan melihat Gunung Haruman, dan disebelah barat akan nampak Gunung Mandalawangi dan Gunung Guntur yang menjulang tinggi.
Gerbang yang tidak terlalu besar akan menyambut kehadiran para pengunjung, bahkan lokasi parkir bagi para pengunjung hanya muat untuk 3 mobil ukuran kecil sejenis sedan dan minibus. Untuk bus besar bisa diparkir ditepi jalan desa. Sejenak kita bisa beristirahat ditepi situ, sambil menikmati makanan kecil yang sudah kita bawa. Teduh rasanya memandangi air situ yang bening kehijauan dan udara yang sejuk. Untuk mencapai Candi Cangkuang kita harus menyeberangi situ, kurang lebih berjarak 500 meter dari tempat gerbang masuk. Rakit dari bambu siap mengantarkan kita dengan ongkos 50,000 per rakit, dimana satu rakit kapasitas maksimalnya 25 orang. Kurang lebih setelah 10 menit berada diatas rakit, sampailah kita dilokasi Candi Cangkuang. Memasuki areal candi setiap orang dikenakan biaya restribusi sebesar Rp 1000,- yang digunakan untuk pemeliharaan candi tersebut. Pagi hari rasanya lebih indah ketika kita mengunjungi candi tersebut, karena selain candi tersebut terletak ditanah yang paling tinggi diantara bangunan-bangunan lain ditempat itu, kabut pagi yang menyembul diantara pohon-pohon besar di sekitar candi menambah kesan angker candi, namun hal itu justru menambah pesona tersendiri dari Candi Cangkuang.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah Leles dan sekitarnya pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh Bapak Idji Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles diketuai oleh Prof. Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada lembaga purbakala. Drs. Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi dan disamping itu terdapat pula makam kuno berikutsebuah arca ( patung ) Siwa yang sudah rusak, tempat penemuan ini adalah merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo Desa Cangkuang. Penelitian tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad ) dan sebuah arca yang sudah rusak. Selama penelitian selanjutnya disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu obsidian ( batu kendan ), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.
Lebih unik lagi disamping Candi cangkuang terdapat sebuah pemukiman yang dinamakan dengan Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil yang terdiri dari enam buah rumah dan kepala keluarga. Ketentuan ini harus ditepati, dan sudah merupakan ketentuan adat kalau jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi Kampung Pulo Desa Cangkuang sukar atau relatif lama untuk berkembang, baik rumahnya atau penduduknya dari keenam kepala keluarga tersebut. Sebagian besar dari penduduk Kampung Pulo tersebut bermata pencaharian petani dengan tanah sendiri, dan sebagian lagi sebagai petani penggarap tanah orang lain. Penduduk yang menempati kampung ini merupakan penduduk keturunan ke tujuh dari Eyang Dalem Arif Muhammad. Karena uniknta tempat ini, baik dari sejarah maupun lokasinya, membuat daya tarik tersendiri buat wisatawan baik domestik maupun luar negeri untuk mengunjungi tempat ini. Menurut petugas, "tiap hari selalu ada wisatawan asing yang berkunjung kesisni, belum lagi diakhir minggu biasanya banyak dikunjungi oleh anak-anak sekolah untuk memperdalam pengetahuan sejarah. Namun begitu, faktor kebersihan dan keindahan nampaknya kurang mendapat perhatian serius dari Dinas Pariwisata yang mengelola tempat ini. Selain itu fasilitas MCK juga kurang memadai, sehingga ke depan agar tempat ini tetap menarik buat para wisatawan, pihak-pihak terkait harus memperbaiki dan melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada.
Berdasarkan sejarah, Candi Cangkuang merupakan bangunan suci berkonsep Hindu pada abad ke-7 dan 8 Masehi. Dibangun, tepat di tengah Situ Cangkuang, Garut, Jawa barat. Terdapat nilai ritual pada candi tersebut sebagai bentuk kedekatan budaya masyarakat Sunda dengan agama Hindu sejak zaman Kerajaan Taruma Negara. Hal itu terlihat dari kebiasaan perayaan hari-hari ritual setelah kematian dan penyembahan nenek moyang (Mangle, 28 Agustus 2003).
Hingga saat ini, sikap hormat pada roh nenek moyang masih dianggap menyelamatkan tradisi adat. Perpaduan antara Hinduisme dan nilai kultural yang khas dari masyarakat Sunda dikenal sebagai kepercayaan Jati Sunda atau kepercayaan sinkretis; sebuah konsep berkeyakinan yang menghubungkan arwah-leluhur, agama Hindu, dan Buddha demi menciptakan keteraturan hidup mereka.

Jati Sunda bukan sekadar pertautan kultur dan agama. Bahkan bagi masyarakat adat Kampung Pulo yang dekat dengan Candi Cangkuang, Jati Sunda merupakan oase kultural. Untuk keselamatan bersama, masyarakat adat memahami budaya dengan kekuatan magis-spritual. Bagaimana candi itu disakralkan terlihat dari konsistensi masyarakat pada norma adat.

Bagi mereka, benda budaya atau peninggalan sejarah mengandung kekuatan supranatural yang pada gilirannya menjadi pusat hidup. Atas dasar pandangan itu, bangunan Candi Cangkuang dipercaya mengandung roh leluhur. Maka menghormatinya merupakan perilaku adat paling mulia.

Pandangan demikian tidak pernah lekang oleh waktu. Bahkan telah membangun konstruksi budaya yang lahir dari pertautan roh dan tradisi. Pada dasarnya, memang sebuah magis-spritual dan terkadang cerita mitos. Tetapi terlampau kuat memengaruhi pergulatan hidup manusia. Seakan masa depan peradaban bergantung padanya.

Setelah Kampung Pulo mulai mengakrabi Islam, keyakinan Jati Sunda tetap dianggap bagian penting kesadaran adat. Penghormatan terhadap Candi Cangkuang tidak pernah tergantikan. Budaya terpelihara sebagai ruang bersama tanpa ada konflik, perbedaan maupun keresahan sosial.

Sekalipun Islam telah menjadi agama adat Kampung Pulo, kebiasaan merayakan ritual setelah kematian dan memberikan kemenyan atau bunga-bungaan untuk tujuan mendekatkan diri kepada roh leluhur masih lestari sehingga harmoni yang lahir dari keseimbangan sosial senantiasa menyifati sistem adat.

Persis di sisi selatan Candi Cangkuang, berdiri tegak nisan makan Arif Muhamad, tokoh Islam pertama Kampung Pulo. Saling bersebelahan tanpa satu pun mengalami kepunahan. Dalam suasana bersama, ada kejujuran tidak terbantahkan. Yaitu, perihal keterbukaan saat terjadi pergulatan identitas atau perbedaan.

Candi Cangkuang yang Hindu cenderung tidak mengacuhkan persoalan itu. Demikian pula nisan Arif Muhamad menerima kehinduan Candi Cangkuang sebagai kehadiran makna. Makna yang nantinya menyembulkan kebudayaan tanpa konflik, solid serta menenteramkan manusia.

Selain itu, Candi Cangkuang dan nisan makam Arif Muhamad merupakan dua sumber adat Kampung Pulo yang mahakuat. Keduanya memberikan orientasi bahwa tradisionalitas dapat mengilhami keajekan, menerima apa adanya dalam suasana penuh hormat pada sesama. Darinya, persoalan identitas tidak pernah muncul. Seperti halnya perselisihan yang tidak pernah ada.

Dalam keseharian, masyarakat adat meyakini Islam sebagai agama. Tetapi di saat bersamaan juga mengamini ritual Hindu. Perilaku macam itu mungkin merupakan pemaknaan budaya paling manusiawi. Tradisi adat dilahirkan bukan atas dasar ego manusia, melainkan melalui peleburan makna roh-leluhur, alam, dan norma manusia. Dengan begitu, mengerti budaya harus melampaui segala kepastian rencana manusia. Juga, perlu menghadirkan makna dari setiap simbol budaya, mitos dan peninggalan leluhur untuk menciptakan hidup tanpa konflik.
TEASER: Cara pandang macam itu tersirat jelas pada bangunan Candi Cangkuang. Tidak hanya menampilkan sisi eksotis laiknya bangunan candi bersejarah. Tapi diyakini mampu menyudahi perbedaan serta pertarungan identitas