disekitar makam Embah Dalem Arif Muhammad, namanya pohon Cangkuang, pohon ini sejenis pohon pandan dalam bahasa latinnya ( Pandanus Furcatus ), tempo dulu daunnya dimanfaatkan untuk membuat tudung, tikar atau pembungkus gula aren. Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan beserta masyarakat setempatlah yang membendung daerah ini, sehingga terjadi sebuah danau dengan nama "Situ Cangkuang" kurang lebih abad XVII. Embah Dalem Arif Muhammad dan kawan-kawan berasal dari kerajaan Mataram di Jawa Timur. Mereka datang untuk menyerang tentara VOC di Batavia sambil menyebarkan Agama Islam di Desa Cangkuang Kabupaten Garut. Waktu itu di Kampung Pulo salah satu bagian wilayah dari desa Cangkuang sudah dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu. Namun secara perlahan namun pasti, Embah Dalem Arif Muhammad mengajak masyarakat setempat untuk memeluk Agama Islam.

Gerbang yang tidak terlalu besar akan menyambut kehadiran para pengunjung, bahkan lokasi parkir bagi para pengunjung hanya muat untuk 3 mobil ukuran kecil sejenis sedan dan minibus. Untuk bus besar bisa diparkir ditepi jalan desa. Sejenak kita bisa beristirahat ditepi situ, sambil menikmati makanan kecil yang sudah kita bawa. Teduh rasanya memandangi air situ yang bening kehijauan dan udara yang sejuk. Untuk mencapai Candi Cangkuang kita harus menyeberangi situ, kurang lebih berjarak 500 meter dari tempat gerbang masuk. Rakit dari bambu siap mengantarkan kita dengan ongkos 50,000 per rakit, dimana satu rakit kapasitas maksimalnya 25 orang. Kurang lebih setelah 10 menit berada diatas rakit, sampailah kita dilokasi Candi Cangkuang. Memasuki areal candi setiap orang dikenakan biaya restribusi sebesar Rp 1000,- yang digunakan untuk pemeliharaan candi tersebut. Pagi hari rasanya lebih indah ketika kita mengunjungi candi tersebut, karena selain candi tersebut terletak ditanah yang paling tinggi diantara bangunan-bangunan lain ditempat itu, kabut pagi yang menyembul diantara pohon-pohon besar di sekitar candi menambah kesan angker candi, namun hal itu justru menambah pesona tersendiri dari Candi Cangkuang.
Candi Cangkuang ditemukan kembali oleh Team Sejarah Leles dan sekitarnya
pada tanggal 9 Desember 1966. Team ini disponsori oleh Bapak Idji
Hatadji ( Direktur CV. Haruman ). Team Sejarah Leles diketuai oleh Prof.
Harsoyo, serta sebagai ketua penelitian sejarah dan kepurbakalaan
adalah drs. Uka Tjandrasasmita, seorang ahli purbakala Islam pada
lembaga purbakala. Drs. Uka Tjandrasasmita mula-mula melihat adanya batu
yang merupakan fragmen dari sebuah bangunan candi dan disamping itu
terdapat pula makam kuno berikutsebuah arca ( patung ) Siwa yang sudah
rusak, tempat penemuan ini adalah merupakan sebuah bukit di Kampung Pulo
Desa Cangkuang. Penelitian tersebut berdasarkan tulisan Vorderman dalam
buku Notulen Bataviaasch Genootschap terbitan tahun 1893 yang
menyatakan bahwa di Desa Cangkuang terdapat makam kuno ( Arif Muhammad )
dan sebuah arca yang sudah rusak. Selama penelitian selanjutnya
disekitar tempat tersebut ditemukan pula peninggalan-peninggalan
kehidupan pada zaman pra sejarah yaitu berupa alat-alat dari batu
obsidian ( batu kendan ), pecahan-pecahan tembikar yang menunjukkan
adanya kehidupan pada zaman Neolithicum dan batu-batu besar yang
merupakan peninggalan dari kebudayaan Megaliticum.
Lebih unik lagi disamping Candi cangkuang terdapat sebuah pemukiman yang dinamakan dengan Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil yang terdiri dari enam buah rumah dan kepala keluarga. Ketentuan ini harus ditepati, dan sudah merupakan ketentuan adat kalau jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi Kampung Pulo Desa Cangkuang sukar atau relatif lama untuk berkembang, baik rumahnya atau penduduknya dari keenam kepala keluarga tersebut. Sebagian besar dari penduduk Kampung Pulo tersebut bermata pencaharian petani dengan tanah sendiri, dan sebagian lagi sebagai petani penggarap tanah orang lain. Penduduk yang menempati kampung ini merupakan penduduk keturunan ke tujuh dari Eyang Dalem Arif Muhammad. Karena uniknta tempat ini, baik dari sejarah maupun lokasinya, membuat daya tarik tersendiri buat wisatawan baik domestik maupun luar negeri untuk mengunjungi tempat ini. Menurut petugas, "tiap hari selalu ada wisatawan asing yang berkunjung kesisni, belum lagi diakhir minggu biasanya banyak dikunjungi oleh anak-anak sekolah untuk memperdalam pengetahuan sejarah. Namun begitu, faktor kebersihan dan keindahan nampaknya kurang mendapat perhatian serius dari Dinas Pariwisata yang mengelola tempat ini. Selain itu fasilitas MCK juga kurang memadai, sehingga ke depan agar tempat ini tetap menarik buat para wisatawan, pihak-pihak terkait harus memperbaiki dan melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada.
Lebih unik lagi disamping Candi cangkuang terdapat sebuah pemukiman yang dinamakan dengan Kampung Pulo. Sebuah kampung kecil yang terdiri dari enam buah rumah dan kepala keluarga. Ketentuan ini harus ditepati, dan sudah merupakan ketentuan adat kalau jumlah rumah dan kepala keluarga itu harus enam. Oleh karena itu bagi Kampung Pulo Desa Cangkuang sukar atau relatif lama untuk berkembang, baik rumahnya atau penduduknya dari keenam kepala keluarga tersebut. Sebagian besar dari penduduk Kampung Pulo tersebut bermata pencaharian petani dengan tanah sendiri, dan sebagian lagi sebagai petani penggarap tanah orang lain. Penduduk yang menempati kampung ini merupakan penduduk keturunan ke tujuh dari Eyang Dalem Arif Muhammad. Karena uniknta tempat ini, baik dari sejarah maupun lokasinya, membuat daya tarik tersendiri buat wisatawan baik domestik maupun luar negeri untuk mengunjungi tempat ini. Menurut petugas, "tiap hari selalu ada wisatawan asing yang berkunjung kesisni, belum lagi diakhir minggu biasanya banyak dikunjungi oleh anak-anak sekolah untuk memperdalam pengetahuan sejarah. Namun begitu, faktor kebersihan dan keindahan nampaknya kurang mendapat perhatian serius dari Dinas Pariwisata yang mengelola tempat ini. Selain itu fasilitas MCK juga kurang memadai, sehingga ke depan agar tempat ini tetap menarik buat para wisatawan, pihak-pihak terkait harus memperbaiki dan melengkapi fasilitas-fasilitas yang ada.
Berdasarkan sejarah, Candi Cangkuang merupakan
bangunan suci berkonsep Hindu pada abad ke-7 dan 8 Masehi. Dibangun, tepat di tengah Situ Cangkuang, Garut, Jawa
barat. Terdapat nilai ritual pada candi tersebut sebagai bentuk
kedekatan budaya masyarakat Sunda dengan agama Hindu sejak zaman Kerajaan Taruma
Negara. Hal itu terlihat dari kebiasaan perayaan hari-hari
ritual setelah kematian dan penyembahan nenek moyang (Mangle, 28
Agustus 2003).
Hingga saat ini, sikap
hormat pada roh nenek moyang masih dianggap menyelamatkan tradisi adat.
Perpaduan antara Hinduisme dan nilai kultural yang khas dari masyarakat
Sunda dikenal sebagai kepercayaan
Jati Sunda atau kepercayaan sinkretis; sebuah konsep berkeyakinan yang
menghubungkan arwah-leluhur, agama Hindu, dan Buddha demi menciptakan
keteraturan hidup mereka.
Jati Sunda bukan sekadar pertautan kultur dan
agama. Bahkan bagi masyarakat adat Kampung Pulo yang dekat dengan Candi
Cangkuang, Jati Sunda merupakan oase kultural. Untuk keselamatan
bersama, masyarakat adat memahami budaya dengan kekuatan
magis-spritual. Bagaimana candi itu disakralkan terlihat dari
konsistensi masyarakat pada norma adat.
Bagi mereka, benda budaya atau peninggalan sejarah
mengandung kekuatan supranatural yang pada gilirannya menjadi pusat
hidup. Atas dasar pandangan itu, bangunan Candi Cangkuang dipercaya
mengandung roh leluhur. Maka menghormatinya merupakan perilaku adat
paling mulia.
Pandangan demikian tidak pernah lekang oleh waktu.
Bahkan telah membangun konstruksi budaya yang lahir dari pertautan roh
dan tradisi. Pada dasarnya, memang sebuah magis-spritual dan terkadang
cerita mitos. Tetapi terlampau kuat memengaruhi pergulatan hidup
manusia. Seakan masa depan peradaban bergantung padanya.
Setelah Kampung Pulo mulai mengakrabi Islam,
keyakinan Jati Sunda tetap dianggap bagian penting kesadaran adat.
Penghormatan terhadap Candi Cangkuang tidak pernah tergantikan. Budaya
terpelihara sebagai ruang bersama tanpa ada konflik, perbedaan maupun
keresahan sosial.

Persis di sisi selatan Candi Cangkuang, berdiri
tegak nisan makan Arif Muhamad, tokoh Islam pertama Kampung Pulo.
Saling bersebelahan tanpa satu pun mengalami kepunahan. Dalam suasana bersama, ada kejujuran tidak
terbantahkan. Yaitu, perihal keterbukaan saat terjadi pergulatan
identitas atau perbedaan.
Candi Cangkuang yang Hindu cenderung tidak
mengacuhkan persoalan itu. Demikian pula nisan Arif Muhamad menerima
kehinduan Candi Cangkuang sebagai kehadiran makna. Makna yang nantinya
menyembulkan kebudayaan tanpa konflik, solid serta menenteramkan
manusia.
Selain itu, Candi Cangkuang dan nisan makam Arif
Muhamad merupakan dua sumber adat Kampung Pulo yang mahakuat. Keduanya
memberikan orientasi bahwa tradisionalitas dapat mengilhami keajekan,
menerima apa adanya dalam suasana penuh hormat pada sesama. Darinya,
persoalan identitas tidak pernah muncul. Seperti halnya perselisihan
yang tidak pernah ada.
Dalam keseharian, masyarakat adat meyakini Islam
sebagai agama. Tetapi di saat bersamaan juga mengamini ritual Hindu.
Perilaku macam itu mungkin merupakan pemaknaan budaya paling manusiawi.
Tradisi adat dilahirkan bukan atas dasar ego manusia, melainkan melalui
peleburan makna roh-leluhur, alam, dan norma manusia. Dengan begitu,
mengerti budaya harus melampaui segala kepastian rencana manusia. Juga,
perlu menghadirkan makna dari setiap simbol budaya, mitos dan
peninggalan leluhur untuk menciptakan hidup tanpa konflik.
TEASER: Cara pandang macam itu tersirat jelas pada
bangunan Candi Cangkuang. Tidak hanya menampilkan sisi eksotis laiknya
bangunan candi bersejarah. Tapi diyakini mampu menyudahi perbedaan
serta pertarungan identitas