Oleh : Muhamad Abduh Tausikal

Segala
nikmat yang diberikan pada hamba akan ditanyakan, apakah benar kita telah
mensyukurinya, atau malah kita jadi orang yang tertipu hingga jadinya kufur
nikmat. Betapa banyak orang yang diberi nikmat oleh Allah, namun sayangnya
nikmat tersebut disalurkan untuk kemaksiatan.
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ
لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian
kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu
megah-megahkan di dunia itu)” (QS. At Takatsur: 8).
Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan,
Nikmat yang telah kalian peroleh di
dunia, apakah benar kalian telah mensyukurinya, disalurkan untuk melakukan hak
Allah dan tidak disalurkan untuk perbuatan maksiat? Jika kalian benar-benar
bersyukur, maka kalian kelak akan mendapatkan nikmat yang lebih mulia dan lebih
afdhol.
Atau kalian malah tertipu dengan nikmat
tersebut? Malah kalian tidak mensyukurinya? Bahkan sungguh celaka, kalian malah
memanfaatkan nikmat tersebut dalam kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَوْمَ
يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي
حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ
الْهُونِ
“Dan
(ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka
dikatakan): "Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan
duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini
kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan” (QS. Al Ahqaf: 20). Demikian
diterangkan dalam Taisir Al Karimir Rahman, hal. 933.
Di antara nikmat yang akan ditanyakan
pada hamba di hari kiamat nanti adalah nikmat sehat. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
أَوَّلَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَعْنِى الْعَبْدَ مِنَ
النَّعِيمِ أَنْ يُقَالَ لَهُ أَلَمْ نُصِحَّ لَكَ جِسْمَكَ وَنُرْوِيكَ مِنَ
الْمَاءِ الْبَارِدِ
“Sungguh
nikmat yang akan ditanyakan pada hamba pertama kali pada hari kiamat kelak
adalah dengan pertanyaan: “Bukankah Kami telah memberikan kesehatan pada
badanmu dan telah memberikan padamu air yang menyegarkan?” (HR. Tirmidzi no.
3358. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Di manakah nikmat sehat kita salurkan?
Apakah untuk berfoya-foya di dunia? Ataukah dimanfaatkan untuk ketaatan?
Dan kebanyakan orang itu lalai dari
nikmat sehat tersebut. Dari Ibnu ‘Abbas, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
juga bersabda,
نِعْمَتَانِ
مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada
dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu
senggang”
(HR. Bukhari no. 6412).
Nikmat sehat itulah yang dikatakan oleh
Abu Darda’,
الصِّحَّةُ
غِنى الجسد
“Sehat
adalah ghina jasad (yaitu bentuk kecukupan yang ada pada badan kita)”. (Kitabusy Syukr,
hal. 102. Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 76).
Mengenai surat At Takatsur ayat 8, Ibnu
‘Abbas berkata,
النعيم
: صحَّةُ الأبدان والأسماع والأبصار ، يسأَلُ الله العبادَ : فيما استعملوها ؟ وهو
أعلمُ بذلك منهم ، وهو قوله تعالى : { إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً } .
“Yang
namanya nikmat adalah badan, pendengaran dan penglihatan yang dalam keadaan
sehat. Allah kelak akan menanyakan mengenai nikmat tersebut untuk apakah
dimanfaatkan?”
Allah yang pasti mengetahui hal itu. Karena Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
“Sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan
jawabnya”
(QS. Al Isro’: 36). (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 77).
Wahab bin Munabbih berkata bahwa telah
tertulis dalam hikmah keluarga Daud,
العافية
المُلك الخفيُّ
“Sehat
itu bagaikan kerajaan yang tersembunyi”. (Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2: 76).
Ibnu Mas’ud berkata,
النعيمُ
: الأمنُ والصحة
“Termasuk
nikmat adalah rasa aman dan sehat” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir. Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam,
2: 77).
Intinya sungguh banyak nikmat yang
Allah beri, bukan hanya nikmat sehat, namun sedikit yang mau merenungkannya.
Padahal semua itu akan dipertanyakan kelak dan dimintai pertanggungjawaban.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan
jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya”
(QS. An Nahl: 18).
Bakr Al Mazini pernah berkata,
يا
ابن آدم ، إنْ أردتَ أنْ تعلمَ قدرَ ما أنعمَ اللهُ عليك ، فغمِّضْ عينيك
“Wahai
manusia, jika engkau ingin tahu kadar nikmat yang telah Allah peruntukkan
bagimu, maka penjamkanlah matamu”
Dalam sebagian atsar disebutkan,
كم
مِنْ نِعمَةٍ لله في عرقٍ ساكن
“Betapa
banyak nikmat Allah yang terdapat dalam pembuluh darah kita” (Jaami’ul ‘Ulum wal
Hikam, 2: 76).
Jarang yang mau merenungkan hal ini.
Dikira nikmat hanyalah harta, uang dan duit. Padahal kesehatan –sungguh-
adalah nikmat berharga yang patut disyukuri dan masih ada nikmat lainnya.
Sebagaimana keterangan dari Ibnu Rajab
dalam Jaami’ul ‘Ulum (2: 82), bahkan nikmat itu ada dua macam, nikmat
diniyyah (agama) dan nikmat duniawiyah. Keadaan selamat, terhindar dari
bahaya, kesehatan dan rizki adalah nikmat duniawiyah. Sedangkan bersyukur
dengan mengucapkan ‘alhamdulillah’, itu pun nikmat. Nikmat duniawiyah dan
diniyyah sama-sama adalah nikmat dari Allah. Kata Ibnu Rajab dan ini yang patut
digarisbawahi,
لكن
نعمة الله على عبده بهدايته لشكر نعمه بالحمد عليها أفضل من نعمه الدنيوية على
عبده ، فإنَّ النعم الدنيوية إنْ لم يقترن بها الشُّكرُ
“Akan
tetapi nikmat Allah pada hamba dengan memberi hidayah untuk bersyukur terhadap
nikmat dengan mengucapkan ‘alhamdulillah’ lebih afdhol dari nikmat duniawiyah
yang diberikan pada hamba. Karena nikmat duniawiyah, jika tidak dikaitkan
dengan syukur, maka itu malah jadi musibah.” Sebagaimana kata Ibnu Hazm,
كل
نعمة لا تقرب من الله عز وجل، فهي بلية.
“Setiap
nikmat yang tidak digunakan untuk mendekatkan diri pada Allah, itu hanyalah
musibah.”
(Jaami’ul Ulum wal Hikam, 2: 82)
Lalu perhatikan lagi perkataan Ibnu
Rajab selanjutnya,
Jika Allah memberi taufik pada seorang
hamba untuk bersyukur atas nikmat duniawiyah dengan mengucapkan ‘alhamdulillah’
atau dengan melakukan bentuk syukur lainnya, maka nikmat diniyyah ini sendiri
adalah lebih baik dari nikmat duniawiyah tersebut dan nikmat diniyyah lebih
dicintai di sisi Allah. Karena Allah sangat mencintai orang yang rajin
menyanjung-Nya. Allah semakin ridho jika hamba diberi makan, lalu ia memuji
Allah atas nikmat tersebut, begitu pula ketika ia minum dan ia pun memuji
Allah. Dan pujian Allah terhadap nikmat dan bentuk pujian mereka atas nikmat
lebih dicintai oleh Allah dari harta mereka sendiri (Lihat Jaami’ul Ulum wal
Hikam, 2: 82-83).
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan,
وَأَنَّ
الشُّكْرَ يَكُونُ بِالْقَلْبِ وَاللِّسَانِ وَالْجَوَارِحِ
“Syukur
haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan
menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 135).
Semoga kita menjadi hamba yang
bersyukur.
وَسَنَجْزِي
الشَّاكِرِينَ
“Dan
kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Ali Imron:
145).
وَإِذْ
تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ
إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan
(ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim: 7).
Segala puji bagi Allah atas karunia
nikmat yang tak henti-henti diberikan pada kita. Mudah-mudahan kita dapat
menyalurkan segala nikmat dalam kebaikan, dengan mengakui dalam hati bahwa itu
adalah nikmat dari Allah, menyebut ‘alhamdulillah’ dalam lisan, dan menyalurkan
nikmat tersebut dalam ketaatan, bukan dalam maksiat.
Wabillahit taufiq.